Minggu, 25 Mei 2008

lelakipulauluka

Sajak-sajak Lukman Mahbubi

MERAH MATAKU BUKANLAH DARAH

TETAPI SUMPAH

: aku terima engkau dengan maskawin segenap rindu.

begitulah janji yang telah kusepakati

menerimamu

menyatukan kata dan asa

meleburkan cinta dan rasa

setelah itu aku mendatangimu

membawa berjuta luka

agar menjelma pelangi

di langit hatimu

lalu kita bertukar cerita

tentang bulan yang menikam

atau tentang bintang yang meradang

sampai alam benarbenar menyatu dengan kesunyian

dan tak tersisa lagi rahasia terpendam.

: merah mataku bukanlah darah

tetapi sumpah

Guluk-guluk, 29 Januari 2008

REMBULAN YANG TERLUKA

bukan aroma dupa yang mengantarmu

ke dalam kamarku.

seekor merpati jingga yang dikirim tuhan

ke sudut matamu

membentuk cakrawala yang tak pernah hilang sepanjang perjalanan.

mungkin aku tak akan bertanya lagi tentang malam

sebab rindu yang biru telah kubekukan di sini:

di antara desahnafas dan aliran darahmu

seperti sekuntum bunga yang dibawa bidadari

dari delapan penjuru bumi

engkau semerbak membuatku ombak

lihatlah!

langit yang tertikam nafasmu berdarahdarah

merah

tumpah

nyaris tenggelamkan tubuhku

lalu,

daun-daun itu tembangkan irama sukma

diterbangkan angin ke puncak dingin

akupun erat mendekap sunyi

sambil mengasah doa sepanjang rahasia

mengenang sejarah luka sepanjang rasa

tiba-tiba,

engkau seruncing angin

merasuk ke dalam hati dan pikiran

membuat jiwaku terlunta

: cinta adalah genangan air mata

rembulan yang terluka adalah hatiku

memar di ujung waktu

Guluk-guluk, 03 Pebruari 2008

AKU MATI BERSAMA MALAMMU

bismillah…

aku coba melangkah

mencariMu lewat aliran darah dan desah nafas

meski sunyi telah lama menari

menyapa diri dan membelah sepi

aku tetap tak mengerti

; malamMu untuk siapa

dan malamku untuk apa?

hati ini memang luka

tapi Engkaulah yang membuatku matirasa

hingga perih kubawa menari

dan pedih kubawa berlari

menuju rumah tua yang Kau huni bernama cinta

aku terus mencariMu

terbang bersama angin

sambil memanah embun yang mengubun

(engkau semakin jauh, aku semakin gila)

lalu aku mengeluh di atas sajadah

melempar tasbih

pada keningMu aku berlabuh

agar biru mataku yang sayu

dan rindu jiwaku yang beku

hingga…

inna lillahi wa inna ilaihi raji’un

aku mati bersama malamMu

Guluk-guluk, 03 Pebruari 2008

Ketika Engkau Samudera Biru

- perempuanku

ketika engkau samudera biru

aku ingin hanyut dalam riakmu

bersujud dan bertasbih

bersama gelombang waktu

buih putih dari matamu

suci

membuatku mabuk bila meneguk

aku pun teriakkan luka yang kau sayat

bernama rindu.

lalu aku menepi

saat bulan berkaca pada diri

menafakuri malam yang makin sunyi

Guluk-Guluk, 30 Juni 2007

Semedi Dalam Diri

aku lahir dari selangkangan waktu

membias rindu pada langit dan samudera biru

perdamaian telah lama diperselisihkan

matahari celurit berdarah

rembulan luka bernanah

(aku semakin asing hidup di alam fana ini)

damailah langit

tembakau di sini masih kecil

damailah laut

perahu nelayan telah lama menepi

berdamailah bumi

seperti sunyi semedi dalam diri

damailah indonesiaku

rakyatmu merah putih di mataku

Guluk-guluk, 30 Juni 2007

Menyambut Kematian

- buat saudara-saudaraku

kita terlahir dari kebimbangan waktu

memancar rindu pada ruang dan dinding.

rumah-rumah, sawah-sawah,

ladang-ladang, kandang-kandang

menjadi makanan empuk ratusan serigala

“Maafkan aku, nak!

susu yang kalian tenggak air mata,” ibu berbisik

ketika meninabobokan kita

di atas ranjang batu beralas rerumputan.

rinai bianglala, selimut angin lusuh

menghimpit, mencekik dan melilit tubuh kita.

lalu ayah datang sambil merintih,

“Aku juga minta maaf, hari semakin asing

menyambut kita”.

dan kita pun berteriak, berarak

menyambut kematian

yang hampir tak ada jarak

Guluk-guluk, 30 Juni 2007

Kidung Senja

di sini ada parade air mata

sekeping luka menari

diantara rona jiwa yang terlunta

gelak tawa, senda gurau

meretas asa dan cita-cita

samudera kita sulut dengan doa

menjelma rindu pada gelombang

dan perahu di tepian

lalu cinta meronta

di antara biru langit dan laut

menangislah bila itu obat satu-satunya

tenggelamkan dunia dan isinya

sebab senja bukan berarti lambaian terakhir

Guluk-Guluk, 30 Juni 2006

Di Matamu

- Putri

Putri, di matamu kutemukan bunga-bunga

mengalir sungai pada muara jiwa.

lagu layu pun kembali biru

rebahkan kalimat salju dan seikat doa

dan di saat engkau semedi melukis mimpi

aku hanya bisa mengamini sunyi

sambil menyulam rembulan

yang tertikam sejuta persaksian

lalu engkau berbisik:

kalau aku jadi air, engkau harus jadi angin.

Putri, cinta adalah berhala yang Tuhan cipta

untuk dipuja sekedarnya

seperti aku memujamu

hingga kutemukan bunga surga di matamu.

Annuqayah, 20 Januari 2008

Hanya Cinta Kita, Ika

Hanya cinta kita, Ika

Yang seperti riak dan gelombang

seperti muara dan anak sungai

Hanya cinta kita, Ika

Yang seperti tinta dan pena

seperti kata dan makna

Aku tak akan berhenti mencintaimu, Ika

Sebab mencintaimu adalah gila yang tak purna

Mencintaimu adalah puncak kematian rasa

Aku tak akan melupakanmu, Ika

Sebab melupakanmu berarti bunuh diri.

Hanya cinta kita, Ika

Sumenep, 16 Mei 2008

Lelaki Bermata Senja

Di sebuah musim yang terbakar

Seorang lelaki bermata senja

Berjalan

Membawa peta buta

Tentang negerinya yang terluka.

Ia sembunyikan surga di ketiaknya.

(Lelaki bermata senja

mengalungkan bunga di kening malam)

Ia lupa jalan pulang

Hanya sisa kenangan dalam remang

yang terbang bersama kunang

Dan sebelum ajal melebur mimpi

Ia titip pesan buat anak cucunya

yang mungkin seratus tahun lagi baru lahir:

"Jika bunga-bunga di halaman telah punah

Engkau jangan berhenti melukis mimpiku

Sebab merah darahku telah tumpah

Pada puing sejarah".

Lelaki bermata senja

Hanya menyimpan langit di kepalanya.

Sumenep, 16 Mei 2008

PASRAH

Tuhanku,

inilah keterasingan

dari harapan yang terbakar

di persujudan.

Engkau datang megulur waktu

Mengekalkan cinta.

Tuhanku,

bahagia dan derita

tak jauh beda

surga dan neraka

sama saja

dan di sini,

aku menanti tanganMu membelaiku

: walau tak sampai purna

Tuhanku,

segala yang kupunya hanya untukMu.

Sumenep, 17 Mei 2008

Tentang Penulis

Lukman Mahbubi, lahir di Pulau Ra’as, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Saat ini masih tercatat sebagai santri di PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Jalan Makam Pahlawan No. 02. PP. Annuqayah Lubangsa Raya, Blok A/17, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, 69463. Nomor Telepon (0328) 823342/821336. Menulis produktif sejak bergabung dan aktif di beberapa Sanggar yang ada di PP. Annuqayah. Diantaranya: Sanggar Andalas PP. Annuqayah Lubangsa Raya, KBM Teater Gendewa Annuqayah, dan juga berproses bersama di Bengkel Puisi Annuqayah yang diasuh oleh M Faizi bersama M. Zammiel el Muttaqien Guluk-guluk Sumenep Madura. Tulisan-tulisannya sudah banyak dipublikasikan di media lokal maupun nasional. Di antaranya: Horison, Radar Madura, dll. Dan Antologi Puisi bersamanya yang berjudul Merpati Jingga diterbitkan oleh Balai Bahasa Surabaya (2007).

Tidak ada komentar: