Sajak-sajak Lukman Mahbubi
MERAH MATAKU BUKANLAH DARAH
TETAPI SUMPAH
: aku terima engkau dengan maskawin segenap rindu.
begitulah janji yang telah kusepakati
menerimamu
menyatukan kata dan asa
meleburkan cinta dan rasa
setelah itu aku mendatangimu
membawa berjuta luka
agar menjelma pelangi
di langit hatimu
lalu kita bertukar cerita
tentang bulan yang menikam
atau tentang bintang yang meradang
sampai alam benarbenar menyatu dengan kesunyian
dan tak tersisa lagi rahasia terpendam.
: merah mataku bukanlah darah
tetapi sumpah
Guluk-guluk, 29 Januari 2008
REMBULAN YANG TERLUKA
bukan aroma dupa yang mengantarmu
ke dalam kamarku.
seekor merpati jingga yang dikirim tuhan
ke sudut matamu
membentuk cakrawala yang tak pernah hilang sepanjang perjalanan.
mungkin aku tak akan bertanya lagi tentang malam
sebab rindu yang biru telah kubekukan di sini:
di antara desahnafas dan aliran darahmu
seperti sekuntum bunga yang dibawa bidadari
dari delapan penjuru bumi
engkau semerbak membuatku ombak
lihatlah!
langit yang tertikam nafasmu berdarahdarah
merah
tumpah
nyaris tenggelamkan tubuhku
lalu,
daun-daun itu tembangkan irama sukma
diterbangkan angin ke puncak dingin
akupun erat mendekap sunyi
sambil mengasah doa sepanjang rahasia
mengenang sejarah luka sepanjang rasa
tiba-tiba,
engkau seruncing angin
merasuk ke dalam hati dan pikiran
membuat jiwaku terlunta
: cinta adalah genangan air mata
rembulan yang terluka adalah hatiku
memar di ujung waktu
Guluk-guluk, 03 Pebruari 2008
AKU MATI BERSAMA MALAMMU
bismillah…
aku coba melangkah
mencariMu lewat aliran darah dan desah nafas
meski sunyi telah lama menari
menyapa diri dan membelah sepi
aku tetap tak mengerti
; malamMu untuk siapa
dan malamku untuk apa?
hati ini memang luka
tapi Engkaulah yang membuatku matirasa
hingga perih kubawa menari
dan pedih kubawa berlari
menuju rumah tua yang Kau huni bernama cinta
aku terus mencariMu
terbang bersama angin
sambil memanah embun yang mengubun
(engkau semakin jauh, aku semakin gila)
lalu aku mengeluh di atas sajadah
melempar tasbih
pada keningMu aku berlabuh
agar biru mataku yang sayu
dan rindu jiwaku yang beku
hingga…
inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
aku mati bersama malamMu
Guluk-guluk, 03 Pebruari 2008
Ketika Engkau Samudera Biru
- perempuanku
ketika engkau samudera biru
aku ingin hanyut dalam riakmu
bersujud dan bertasbih
bersama gelombang waktu
buih putih dari matamu
suci
membuatku mabuk bila meneguk
aku pun teriakkan luka yang kau sayat
bernama rindu.
lalu aku menepi
saat bulan berkaca pada diri
menafakuri malam yang makin sunyi
Guluk-Guluk, 30 Juni 2007
Semedi Dalam Diri
aku lahir dari selangkangan waktu
membias rindu pada langit dan samudera biru
perdamaian telah lama diperselisihkan
matahari celurit berdarah
rembulan luka bernanah
(aku semakin asing hidup di alam fana ini)
damailah langit
tembakau di sini masih kecil
damailah laut
perahu nelayan telah lama menepi
berdamailah bumi
seperti sunyi semedi dalam diri
damailah indonesiaku
rakyatmu merah putih di mataku
Guluk-guluk, 30 Juni 2007
Menyambut Kematian
- buat saudara-saudaraku
kita terlahir dari kebimbangan waktu
memancar rindu pada ruang dan dinding.
rumah-rumah, sawah-sawah,
ladang-ladang, kandang-kandang
menjadi makanan empuk ratusan serigala
“Maafkan aku, nak!
susu yang kalian tenggak air mata,” ibu berbisik
ketika meninabobokan kita
di atas ranjang batu beralas rerumputan.
rinai bianglala, selimut angin lusuh
menghimpit, mencekik dan melilit tubuh kita.
lalu ayah datang sambil merintih,
“Aku juga minta maaf, hari semakin asing
menyambut kita”.
dan kita pun berteriak, berarak
menyambut kematian
yang hampir tak ada jarak
Guluk-guluk, 30 Juni 2007
Kidung Senja
di sini ada parade air mata
sekeping luka menari
diantara rona jiwa yang terlunta
gelak tawa, senda gurau
meretas asa dan cita-cita
samudera kita sulut dengan doa
menjelma rindu pada gelombang
dan perahu di tepian
lalu cinta meronta
di antara biru langit dan laut
menangislah bila itu obat satu-satunya
tenggelamkan dunia dan isinya
sebab senja bukan berarti lambaian terakhir
Guluk-Guluk, 30 Juni 2006
Di Matamu
- Putri
Putri, di matamu kutemukan bunga-bunga
mengalir sungai pada muara jiwa.
lagu layu pun kembali biru
rebahkan kalimat salju dan seikat doa
dan di saat engkau semedi melukis mimpi
aku hanya bisa mengamini sunyi
sambil menyulam rembulan
yang tertikam sejuta persaksian
lalu engkau berbisik:
kalau aku jadi air, engkau harus jadi angin.
Putri, cinta adalah berhala yang Tuhan cipta
untuk dipuja sekedarnya
seperti aku memujamu
hingga kutemukan bunga surga di matamu.
Annuqayah, 20 Januari 2008
Hanya Cinta Kita, Ika
Hanya cinta kita, Ika
Yang seperti riak dan gelombang
seperti muara dan anak sungai
Hanya cinta kita, Ika
Yang seperti tinta dan pena
seperti kata dan makna
Aku tak akan berhenti mencintaimu, Ika
Sebab mencintaimu adalah gila yang tak purna
Mencintaimu adalah puncak kematian rasa
Aku tak akan melupakanmu, Ika
Sebab melupakanmu berarti bunuh diri.
Hanya cinta kita, Ika
Sumenep, 16 Mei 2008
Lelaki Bermata Senja
Di sebuah musim yang terbakar
Seorang lelaki bermata senja
Berjalan
Membawa peta buta
Tentang negerinya yang terluka.
Ia sembunyikan surga di ketiaknya.
(Lelaki bermata senja
mengalungkan bunga di kening malam)
Ia lupa jalan pulang
Hanya sisa kenangan dalam remang
yang terbang bersama kunang
Dan sebelum ajal melebur mimpi
Ia titip pesan buat anak cucunya
yang mungkin seratus tahun lagi baru lahir:
"Jika bunga-bunga di halaman telah punah
Engkau jangan berhenti melukis mimpiku
Sebab merah darahku telah tumpah
Pada puing sejarah".
Lelaki bermata senja
Hanya menyimpan langit di kepalanya.
Sumenep, 16 Mei 2008
PASRAH
Tuhanku,
inilah keterasingan
dari harapan yang terbakar
di persujudan.
Engkau datang megulur waktu
Mengekalkan cinta.
Tuhanku,
bahagia dan derita
tak jauh beda
surga dan neraka
sama saja
dan di sini,
aku menanti tanganMu membelaiku
: walau tak sampai purna
Tuhanku,
segala yang kupunya hanya untukMu.
Sumenep, 17 Mei 2008
Tentang Penulis
Lukman Mahbubi, lahir di Pulau Ra’as, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Saat ini masih tercatat sebagai santri di PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Jalan Makam Pahlawan No. 02. PP. Annuqayah Lubangsa Raya, Blok A/17, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, 69463. Nomor Telepon (0328) 823342/821336. Menulis produktif sejak bergabung dan aktif di beberapa Sanggar yang ada di PP. Annuqayah. Diantaranya: Sanggar Andalas PP. Annuqayah Lubangsa Raya, KBM Teater Gendewa Annuqayah, dan juga berproses bersama di Bengkel Puisi Annuqayah yang diasuh oleh M Faizi bersama M. Zammiel el Muttaqien Guluk-guluk Sumenep Madura. Tulisan-tulisannya sudah banyak dipublikasikan di media lokal maupun nasional. Di antaranya: Horison, Radar Madura, dll. Dan Antologi Puisi bersamanya yang berjudul Merpati Jingga diterbitkan oleh Balai Bahasa Surabaya (2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar