Minggu, 15 Juni 2008

Aku bukan nsulaiman

Minggu, 2008 Mei 25

cerpen-cerpen

PERJALANAN TERAKHIR

Oleh Lukman Mahbubi

Entah berapa lama lagi rasa ini harus memenjarakan diriku. Rasa yang mungkin hanya Tuhan yang mengerti maknanya. Dan kata ini terlalu klise bila harus mewakilinya. Tapi beginilah bahasa, tak akan mampu mengungkap semua rahasia tentang cinta. Maka sebelum aku teruskan ceritaku ini, izinkanlah aku memujamu rahasia.

Engkau memang tak sepurna para peri. Engkau juga tak secantik bidadari. Namun, tak ada yang lebih sempurna dan mempesona dibanding senyum yang selalu rekah di bibir mungilmu. Biru matamu mampu menenggelamkan seluruh tubuhku. Dan engkaulah Euphorbia[1] di hatiku atau bahkan Anggrek Bulan Ungu[2]yang membuat mataku sayu.

"Ah, engkau memang gila, Bi. Mencintai perempuan yang masih belum kau kenal. Nama lengkapnya saja engkau tak tahu".

Ya, benar kata temanku barusan, aku tak tahu nama lengkapmu. Yang aku tahu engkau hanya bernama Putri. Dan aku memang telah gila. Tapi aku tak seperti orang gila yang selalu mengamuk dan memukul-mukul kepalanya sendiri sebab mencintaimu adalah kegilaan yang tak sempurna. Aku masih waras. Aku masih ingat engkau, tidak pada yang lain.

Aku juga masih ingat ketika engkau memintaku menyirami bunga-bunga yang kau tanam di taman itu. Engkau berkata sambil tersipu; malu? Dan senyummu yang indah membuat bunga-bunga itu seketika rekah. Engkau pun sumringah.

- Andai aku yang jadi bunga, apakah engkau akan menyiram dan merawatku setiap saat?

Ah, mestinya engkau tak perlu bertanya seperti itu. Seluruh raga telah kuabdikan untukmu. Apapun yang kau pinta, aku akan memberikannya walau dengan cara apapun. Jangankan menjaga dan menyiramimu, membawamu terbang ke bintang aku akan membawamu sebab tak ada yang bisa menghalangi kekuatan cintaku padamu.

- Wah, engkau memang pandai merayuku. Semoga saja aku tidak terjebak oleh pujianmu.

O, tidak. Aku tidak sedang merayumu, tetapi aku hanya mencoba untuk mengutarakan kejujuran hati. Aku hanya berusaha mengungkapkan segala apa yang selama ini kupendam. Andai engkau masih ragu, kuperkenankan engkau membelah tubuhku. Lalu lihatlah, ada gambar siapa di hatiku? Engkau boleh melakukan apapun sepuas hatimu agar engkau benar-benar yakin terhadap apa yang aku katakan. Aku tak akan pernah mendustai hati nurani sendiri walaupun aku juga masih sangsi, apakah nuraniku masih saja putih seputih salju? Atau malah beku seperti batu? Aku masih menyangsikannya. Setiap hari, hati ini selalu bertanya-tanya. Sementara dosa-dosaku saban hari semakin menggunung. Gelap telah membuat mataku silap.

***

Sebulan sesudah perjumpaanku denganmu waktu itu, di taman itu, aku tak pernah berjumpa denganmu lagi. Aku bingung. Ada rindu yang terus mengurung rasaku. Jiwa ini terasa gersang saat jauh darimu. Entahlah, aku juga tak tahu mengapa aku begini.

Aku mencarimu lewat jalan-jalan yang dulu pernah kau ceritakan padaku. Jalan berduri, jalan berbatu, perempatan jalan, pertigaan jalan, jalan berliku, tikungan jalan, dan entah jalan apa dan yang mana lagi yang mesti aku tempuh? Bahkan jalan pintas yang kuanggap pantas telah aku lalui, sementara engkau tak jua aku temukan.

Setelah berhari-hari aku mencarimu, tiba-tiba Gatotsahabatku ─ datang padaku membawa koran. Aku tertawa. Ada potretmu di halaman utama. Engkau tersenyum, masih dengan senyum khasmu. Senyum yang membuat hatiku rindu berhari-hari. Aku bangga karena kerinduan yang selama ini beku bisa sedikit mencair, tapi hanya sedikit.

Berulang kali aku menciumi potretmu. Keningmu, pipimu, hidungmu, bibirmu, dagumu, lehermu, dadamu, jemari lentikmu, bahkan sampai pusarmu aku ciumi. Sekujur tubuhmu tak luput dari kecupan bibirku.

"Gila…!" Gatot mengusik ketenanganku. Ia mencoba menghalangiku untuk berjumpa engkau.

Ya, mereka yang melihatku begini akan berkata kalau aku gila. Tapi ini adalah hakku. Persetan dengan mereka. Yang penting aku bahagia bisa mencumbuimu. Aku senang dapat bertemu engkau. Aku riang bisa bergurau dengan engkau. Aku bisa tertawa sepuas hatiku.

"Bi, sadar…! Baca dulu koran itu. Jangan hanya kau ciumi gambar Putri," Gatot semakin memburuku. Ia menggoyang-goyang pundakku. Aku tak peduli. Aku hanya meliriknya dengan tatapan hampa.

Tetapi, diam-diam aku membenarkan juga apa yang barusan Gatot katakan. Aku harus tahu kabar tentang engkau. Aku harus tahu engkau sekarang ada di mana, bagaimana keadaanmu dan yang paling penting bagiku adalah tentang apa yang membuat mereka tertarik meletakkan potretmu? Aku harus tahu itu.

Perlahan aku baca tulisan hitam dengan font Times New Roman yang dipertebal: SETELAH DIPERKOSA, WANITA BERNAMA PUTRI DIBUNUH. MAYATNYA DITEMUKAN TERKAPAR DI TENGAH SAWAH.

O, tidaaak...! Aku tidak percaya dengan apa yang barusan aku lihat. Aku cubit lenganku; sakit, aku tidak sedang bermimpi. Tapi aku masih ragu. Aku gigit bibirku; luka. Aku menjerit. Aku panik. Aku histeris. Mata ini telah menipuku. Engkau masih hidup. Engkau tak boleh mati. Aku tak akan mengizinkan malaikat mencabut nyawamu.

Aku berjanji, jika suatu saat aku menemukan orang yang menodaimu, aku akan membunuh mereka dengan cara apapun dan bagaimanapun. Aku akan memenggal kepalanya sebagai hadiah paling istimewa pada hari ulang tahunmu..

***

Setelah itu aku lebih sering tertawa sendiri. Aku lebih senang berjalan tanpa baju. Aku telah mencungkil mata kiriku karena telah berani menipuku. Dan aku juga sering mengamuk. Tak jarang orang-orang yang ada di dekatku terkena pukulanku. Bahkan, aku juga sering memukul-mukul kepalaku sendiri sampai berdarah. Dan kalau aku sudah begitu, mereka yang mengaku keluargaku akan mengikat tangan dan kakiku. Dan mulutku juga akan diisolasi karena berteriak-teriak.

Oia, aku juga telah berhasil menemukan orang yang telah memperkosamu. Aku telah memenggal kepalanya, tetapi aku tak puas sampai di situ. Hati ini terlalu sakit. Kepalanya tak cukup untuk sekedar menebus kesucianmu.

Selain memenggal kepalanya, aku membelah tubuhnya menjadi dua. Hatinya aku makan. Daging dan kepalanya aku simpan dalam kantong palastik berwarna hitam. Kalau aku lapar, aku memakannya. Selain itu, sebagian darahnya aku minum dan sebagiannya lagi aku memasukkannya kedalam botol Aqua. Kalau aku kehausan di perjalanan, aku meminumnya. Semua ini karenamu. Karena kehormatanmu.

Aku telah lupa pada diri, keluarga, famili, dan juga lupa pada adik-adikku sebab aku hanya ingat engkau. Rambutku acak-acakan. Wajahku kusam. Celana pendekku berubah warna, banyak debu yang melekat di sana. Tapi aku tak peduli dengan semua itu. Persetan dengan rambutku, persetan dengan wajahku, persetan dengan celana pendekku, toh semua itu tak akan bisa membahagiakan aku. Tak akan ada yang bisa mengembalikan cintaku.

Kadang-kadang aku dicemooh, diolok-olok oleh anak-anak yang kebetulan berjumpa denganku di pinggir jalan.

"Abi gila…, Abi gila…, Abi gila…." begitu mereka mengolok-olok sambil melempariku dengan plastik bekas makanan mereka.

Aku tak peduli dengan apa mereka katakan. Setiap kali mereka melempariku dengan plastik bekas makanan mereka, aku mengambilnya. Aku menjilati plastik itu. Aku senang menjilatinya sebab aku merasa sedang menjilati pipi mulusmu. Aku merasa sedang menjilati bibir manismu.

Dan jika aku begitu, anak-anak itu akan mengolok-olok aku dengan kata-kata lain.

"Abi jorok…, Abi jorok…, Abi jorok…"

Ya, mereka berkata begitu sambil menepuk-nepuk tangannya sendiri. Begitu setiap hari. Tak jarang sepulang dari sekolah, mereka berbondong-bondong mendatangiku. Mereka bahagia bila berada di dekatku. Mereka selalu tertawa sehabis mengolok-olok diriku.

Aku tak menghiraukan mereka sebab aku hanya menginginkan dirimu. Engkau telah membuatku matirasa. Aku tak tahu lagi pahit dan manis. Yang aku tahu manis itu adalah senyummu dan pahit adalah hari-hariku. Dan aku juga telah buta warna. Aku tak bisa membedakan warna putih dan biru. Aku hanya bisa melihat putih itu wajahmu dan biru adalah matamu.

Aku telah jauh melangkah, namun aku masih tetap tidak menemukanmu. Aku nyaris putus asa. Tapi senyummulah yang membuat aku berdiri sampai saat ini. Engkaulah yang membuat aku tetap teguh menjalani hidup ini.

Aku akan terus mencarimu kemanapun aku harus melangkah. Aku tak peduli dengan lelah, yang penting aku bisa bertemu engkau. Aku bisa melihat senyummu. Aku bisa mendengarkan suaramu yang syahdu itu.

Aku telah kehilangan semuanya. Rumah, keluarga, teman, orang-orang, semua telah menjauh dariku. Hanya satu yang masih setia, senyummu. Ya, hanya engkau yang ada dalam anganku. Imajiku terus berpikir bagaimana aku bisa berjumpa denganmu.

Aku telah mencarimu di mana-mana. Di trotoar-trotoar, di etalase-etalase, di café-café, di masjid-masjid, di surau-surau, di gunung dan bahkan di dasar semuderapun aku tetap tak menemukanmu. Tapi aku tak akan berhenti mencarimu. Tak akan ada yang bisa menghalangi perjalananku. Matahari, hujan, duri, batu, api, semua itu tak akan merubah tekadku untuk berjumpa denganmu.

Semakin hari tubuhku bertambah kurus. Kekuatanku semakin berkurang. Aku tak ubahnya seperti tengkorak yang masih bernyawa. Daging di tubuhku nyaris tak ada, hanya kulit yang melekat pada tulang-tulang yang sebentarlagi akan hilang juga ditelan bumi. Tetapi Tuhan tak akan rela hambanya menderita. Ya, Dia maha pengasih. Tak mungkin menyiksaku begitu perih.

Dan itu terbukti. Senyumku telah kembali ketika melihat namamu tertulis di kayu yang berdiri di atas gundukan tanah itu. Aku mendekatinya. Aku yakin ada engkau di sana dan sedang menungguku. Aku yakin itu adalah rumahmu.

Setelah dekat, aku memeluknya; erat. Harapanku hanya satu: berjumpa denganmu. Dan setelah itu aku tak merasakan lagi desah nafas dan denyut nadiku melekat di tubuh. Darahku membeku. Seperti ada yang hilang dalam diriku: Nyawa. Aku juga tak tahu lagi ada di mana. Yang aku tahu, tubuhku telah kaku memeluk kayu yang bertuliskan namamu.

Dan akhirnya, aku benar-benar bertemu denganmu, Putri! Aku telah menemukanmu tersenyum di sampingNya.

Sumenep, 2008



[1]Euphorbia: Bunga hias yang berbunga lebat. Daunya berbentuk oval dengan ujungnya yang lancip. Bunga inilah yang menjadi kebanggaan orang-orang Thailand. Durinya yang tajam diyakini dapat mengusir roh-roh jahat.

[2]Anggrek Bulan Ungu: Bunga hias yang berwarna ungu. Harganya tidak terlalu mahal, tetapi sejuk bila dipandang.

SUNYI MASIH BERNYANYI

Oleh Luki Samarena

Mengenangmu, ibarat merangkai kembali kenangan usang. Perih, pedih, membuat luka kian menganga. Tiap kali bayangmu terlintas di sudut mata, kerapkali pula mataku layu, sembab oleh air mata. Meski menyakitkan, aku bangga mengingatmu sebab engkau beda dengan lainnya. Ada yang lain darimu hingga membuat bibirku selalu tersenyum. Sikapmu yang periang, meluluh-lantakkan keperkasaan seorang lelaki. Termasuk juga diriku.

Mengenalmu, membunuh segala rasa. Menatap biru matamu menenggelamkan segalanya. Mencitaimu, membutakan segala mata. Dan karena senyummu, aku urung kan mati. Mungkin tak ada kata-kata yang mampu melukiskan keindahanmu sebab tak ada pena yang mampu memancarkan tintanya. Aku telah mabuk sehabis meneguk tetes embun di matamu.

Lagipula, menghadapimu ibarat menghadapi seekor singa. Bila salah, singa itu akan marah dan meraung-raung, tapi bila yang diinginkan terpenuhi, ia akan manggut-manggut seakan mengerti bahwa yang diinginkan olehnya terpenuhi.

Begitulah dirimu. Setiap gerak-gerik tubuhmu mengandung makna dan teka-teki yang sampai saat ini masih belum bisa aku pecahkan. Ketika aku berusaha memahamimu, aku merasa seperti menyelam di dasar laut. Semakin dalam aku menyelam, semakin banyak sesuatu yang tidak aku mengerti. Itu yang membuat aku tertarik padamu. Aku bersyukur dapat bertemu dengamu dalam hidup ini. Dan aku tak rugi menyerahkan hatiku padamu hingga kerapkali aku loba pada senyummu yang rayu di mata kecilku.

“Tidakkah engkau tahu betapa aku sangat terbebani oleh rasa ini?” katamu beku.

Aku mencintaimu bukan karena apa dan mengapa, aku mencintaimu karena ketulusan dan kejujuran yang keluar dari hati nurani. Aku ungkapkan cinta bukan berarti engkau harus menerimanya, tetapi untuk sekedar kau tahu bahwa tak ada ruang buat yang lain di hatiku. Menerima dan menolak cinta itu hakmu. Aku tak dapat memaksakan kehendak atas dirimu. Apalagi persoalan cinta. Jika kau merasa terbebani oleh rasa cintaku, buang aku dalam kehidupanmu. Sungguh, aku tak ingin jadi duri dalam hatimu.

“Sudahlah, jangan kau ungkit kembali kerak luka. Cintamu yang tak pasti telah membuat hatiku tersayat dan berdarah. Sikapmu yang tak tentu telah membuat aku muak dengan semua laki-laki. Aku tak ingin lagi terluka karena sikapmu, apalagi cintamu. Engkau adalah ranjau yang akan mengurungku,” engkau berkata sambil menatapku tajam, menusuk mata dan hatiku.

O, mataku bertambah perih! Air mata telah membanjiri ruang hatiku. Mengapa engkau tega berkata seperti itu? Tak tersisakah secuil cinta di hatimu untukku? Tidakkah kau ingat waktu aku mengungkapkan cinta ini padamu?

***

Waktu itu, bulan telah sempurna menampakkan wajahnya; tanggal 14 bulan Ramadlan. Ya, bulan suci itu jadi saksi kesucian cintaku dan cintamu menyatu dalam satu rasa.

“Jika dua rasa telah menyatu menjadi satu, apa yang harus kita perbuat untuk menjaga keabadian dan kesuciannya?” katamu di Hand-Phone waktu itu.

“Ketika dua rasa telah menyatu menjadi satu, kita harus menjaga rasa itu agar tetap abadi hingga kelak di sisi Tuhan,” jawabku sembari menatap kilau rembulan di langit hatiku.

“Dengan cara apa!?” lanjutmu setengah merintih.

“Dengan menjaga hati kita dari berbagai macam uji dan coba. Kita harus senantiasa panjatkan doa agar cinta kita diberkahi dan diridlai.”

“Apakah cukup dengan semua itu? Padahal dalam kamus hidupku tak ada istilah ‘pacaran’. Mungkinkah rasa itu akan abadi tanpa ikatan apapun?”.

Pertanyaan satu ini yang sulit aku jawab. Aku diam. Tapi bukan berarti cintaku padamu hanya sekedar iseng dan gombal belaka! Aku bisu. Tapi bukan pula aku tak tahu apa yang ada dalam rasamu. Sungguh bukan maksudku mempermainkanmu, tetapi karena satu hal yang aku masih belum siap menghadapinya. Walaupun aku masih belum mengikatmu, cintaku tak akan luruh. Cintaku padamu akan tetap utuh tanpa cacat sedikit pun. Aku akan berhenti mencintaimu jika matahari membakar bulan di hatiku.

Aku tahu waktu itu engkau ingin agar aku mengikatmu dengan cincin di jari manismu: Tunangan. Tapi apa yang dapat aku perbuat? Apa yang dapat aku berikan padamu jika aku harus bertunangan denganmu? Sementara ayah dan ibu tidak mengizinkan aku untuk hal yang satu ini. Ya, engkau pun harus juga mengerti keadaanku. Aku masih belum siap untuk tunangan.

Dan pada waktu engkau meminta Dedy untuk menanyakan kesungguhan cintaku padamu, aku ungkapkan semua isi hatiku padanya. Aku jujur katakan kalau dalam hatiku ada engkau, tak ada ruang buat yang lain. Setiap desah nafasku adalah namamu yang selalu kusebut. Setiap detak nadiku adalah namamu yang selalu terukir. Engkau hampir segalanya dalam hidupku.

Tiap saat aku selalu memikirkanmu. Tak ada hari tanpa bayangmu di kepala. Senyummu, merayu di sudut mata. Suaramu mendayu-dayu di telinga. Aku seperti menemukan kembali rembulan yang pecah di mataku. Engkau sungguh sempurna Tuhan ciptakan. Tak ada cacat sedikit pun, walaupun ada, di mataku tak akan pernah tampak sebab mataku telah silau oleh kilaumu.

Aku terus berfikir tentangmu. Malam kusuntukkan untuk mengeja huruf-huruf namamu. Dan bila siang, kuisi ruang di hatiku dengan wajahmu. Hingga suatu ketika, Dedy datang lagi padaku membawa kue dan sebilah pedang.

“Bob, mungkin ini adalah akhir perjalanan cintamu selama ini. Jika kau benar-benar punya hati, makan kue ini sebagai saksi pertunangan Juwita. Tapi bukan denganmu, dia akan resmi menjadi milik orang lain. Akan tetapi bila kau tidak punya hati, bunuh rasa di hatimu dengan pedang ini sebab semua cerita tentang dirimu telah usai,” begitu kata Dedy di saat kesibukanku memikirkanmu.

Dilema. Ya, ini sungguh dilema. Bila aku ambil kue dan memakannya, berarti aku telah memakan hatiku sendiri. Tapi bila aku ambil pedang dan membunuh rasa ini, berartipula aku telah membelah bulan di hatiku. Ah, membingungkan!

Sejenak, tubuhku bergetar. Pikiran kacau. Tangan gemetar. Hati berdebar-debar. Antara sadar dan tidak, kuambil kedua-duanya karena tak ada pilihan lain. Meski berat aku lakukan, terpaksa kumakan juga hatiku sendiri dan sekaligus membunuh rasa di hati. Tetapi, melupakanmu terlalu sulit bagiku. Aku semakin merasa asing hidup di alam fana ini.

Ya, benar. Dunia ini memang fana, tapi tak sefana hatiku saat ini. Dunia memang fatamorgana, tapi jiwaku saat ini lebih dari sekedar fatamorgana. Oh, Tuhan…. Mengapa garis hidup yang kau berikan padaku menyakitkan!? Mengapa cinta yang selama ini aku puja menjadi sebilah keris yang menusuk hatiku? Tapi bukan berarti aku menyalahkan-Mu, malah aku bangga menjadi hamba-Mu yang selalu kau coba. Meski Kau uji aku seberat apapun, aku tak akan marah. Aku hanya bisa pasrah dan menyerah jika itu yang terbaik buatku.

“Alah, Bob…! Engkau terlalu pengecut menjadi seorang lelaki. Mencintai tanpa harus memiliki. Engkau hanya berpura-pura untuk menyembunyikan kebiadabanmu agar tak ada yang tahu, lalu membungkusnya dengan cinta. Dan perempuan hanya kau jadikan pelarian atas keterasinganmu. Ah, sungguh menyebalkan!” Jagur­­­ -sahabatku- ikut-ikutan menyalahkan aku.

Aku akui, akulah lelaki paling pengecut dari yang paling pengecut di dunia ini. Akulah lelaki paling durjana di muka bumi ini. Akulah lelaki yang hanya bisa mencintai tapi tak siap untuk memiliki. Tetapi aku tidak bermaksud menjadikan perempuan sebagai pelarian dari keterasinganku. Bagiku, perempuan semua sama. Suci. Naif bagiku menodai kesuciannya, termasuk juga dirimu.

Aku anggap semua perempuan sama seperti ibuku sendiri yang harus aku patuhi, aku hormati, aku sayangi dan aku puja dalam hidupku. Bila aku menyakitinya, berarti aku telah melakukan dosa paling besar yang ada dalam dunia ini yaitu menyakiti hati orang tua. Itu tak mungkin aku lakukan. Dan kalau aku menyakiti hati ibu, berarti pula aku telah menyakiti Tuhan alam semesta ini.

“Ya, sudahlah, lupakan semua tentang kita. Anggap saja kita tidak pernah bertemu dalam hidup ini. Cinta yang telah usang tak perlu kau persoalkan. Engkau harus mengubur rasa di hatimu sebab jalan kita sudah beda. Jalani saja jalanmu sendiri. Aku akan berjalan sesuai dengan hati nurani dan perasaanku sendiri. Dan sebelum kita benar-benar berpisah, satu hal yang ingin aku pinta darimu, lupakan aku. Buang aku jauh-jauh dari kehidupanmu. Jangan ada secuil cinta yang tersisa di hatimu untukku”.

Craap…! Kata terakhirmu bagai ujung belati menancap di lubuk hatiku yang terdalam. Sakit. Telinga seakan pecah, tak mampu mendengar ucapanmu. Tubuh kaku. Mata sayu. Jiwa beku. Tapi imajiku belum mati, aku tak percaya kalau kata-kata itu keluar dari mulut seorang dara yang selalu menghantui hari-hariku. Tidak, ada orang lain yang memaksamu untuk berkata seruncing itu.

Selaksa luka. Ya, aku ibarat biduk yang dihempas ombak sehingga hilang arah tujuan. Tak ada dermaga tempatku berlabuh. Semua hilang, yang tersisa hanya kenangan-kenangan usang. Anginpun begitu dingin dan runcing untuk kujadikan teman bersanding. Tetapi, samudera akan kusulut dengan doa agar menjelma rindu pada riak gelombang dan perahu di tepian meski cintaku harus meronta di antara biru langit dan laut.

Ah, tidak. Untuk berpisah mungkin aku pasrah, tapi untuk melupakanmu, sungguh bagiku sangat susah. Aku pasrah berpisah sebab senja itu bukan lambaian terakhir, tapi awal kebahagiaan dengan munculnya rembulan di langit kita.

Biarlah, kelopak bunga ini layu dan luruh sendiri agar aku tidak berdosa pada diri sendiri dengan membunuh rasa ini. Aku harus berfikir seribu kali untuk melupakanmu, karena bagiku melupakan atau bahkan berusaha melupakanmu berarti aku bunuh diri sebab engkaulah perempuan yang telah menjadi nafas dalam hidupku.

Biarkan aku menikmati kerinduan yang kau titip padaku meski luka di hatiku kian menganga. Dan biarkan aku menjaga kesucian cintaku padamu walau engkau sudah menjadi milik orang lain, sebab sendiri, sunyiku masih bernyanyi dan dalam diam, aku tetap mencintaimu.

Sumenep, 29 Juni 2007

lelakipulauluka

Sajak-sajak Lukman Mahbubi

MERAH MATAKU BUKANLAH DARAH

TETAPI SUMPAH

: aku terima engkau dengan maskawin segenap rindu.

begitulah janji yang telah kusepakati

menerimamu

menyatukan kata dan asa

meleburkan cinta dan rasa

setelah itu aku mendatangimu

membawa berjuta luka

agar menjelma pelangi

di langit hatimu

lalu kita bertukar cerita

tentang bulan yang menikam

atau tentang bintang yang meradang

sampai alam benarbenar menyatu dengan kesunyian

dan tak tersisa lagi rahasia terpendam.

: merah mataku bukanlah darah

tetapi sumpah

Guluk-guluk, 29 Januari 2008

REMBULAN YANG TERLUKA

bukan aroma dupa yang mengantarmu

ke dalam kamarku.

seekor merpati jingga yang dikirim tuhan

ke sudut matamu

membentuk cakrawala yang tak pernah hilang sepanjang perjalanan.

mungkin aku tak akan bertanya lagi tentang malam

sebab rindu yang biru telah kubekukan di sini:

di antara desahnafas dan aliran darahmu

seperti sekuntum bunga yang dibawa bidadari

dari delapan penjuru bumi

engkau semerbak membuatku ombak

lihatlah!

langit yang tertikam nafasmu berdarahdarah

merah

tumpah

nyaris tenggelamkan tubuhku

lalu,

daun-daun itu tembangkan irama sukma

diterbangkan angin ke puncak dingin

akupun erat mendekap sunyi

sambil mengasah doa sepanjang rahasia

mengenang sejarah luka sepanjang rasa

tiba-tiba,

engkau seruncing angin

merasuk ke dalam hati dan pikiran

membuat jiwaku terlunta

: cinta adalah genangan air mata

rembulan yang terluka adalah hatiku

memar di ujung waktu

Guluk-guluk, 03 Pebruari 2008

AKU MATI BERSAMA MALAMMU

bismillah…

aku coba melangkah

mencariMu lewat aliran darah dan desah nafas

meski sunyi telah lama menari

menyapa diri dan membelah sepi

aku tetap tak mengerti

; malamMu untuk siapa

dan malamku untuk apa?

hati ini memang luka

tapi Engkaulah yang membuatku matirasa

hingga perih kubawa menari

dan pedih kubawa berlari

menuju rumah tua yang Kau huni bernama cinta

aku terus mencariMu

terbang bersama angin

sambil memanah embun yang mengubun

(engkau semakin jauh, aku semakin gila)

lalu aku mengeluh di atas sajadah

melempar tasbih

pada keningMu aku berlabuh

agar biru mataku yang sayu

dan rindu jiwaku yang beku

hingga…

inna lillahi wa inna ilaihi raji’un

aku mati bersama malamMu

Guluk-guluk, 03 Pebruari 2008

Ketika Engkau Samudera Biru

- perempuanku

ketika engkau samudera biru

aku ingin hanyut dalam riakmu

bersujud dan bertasbih

bersama gelombang waktu

buih putih dari matamu

suci

membuatku mabuk bila meneguk

aku pun teriakkan luka yang kau sayat

bernama rindu.

lalu aku menepi

saat bulan berkaca pada diri

menafakuri malam yang makin sunyi

Guluk-Guluk, 30 Juni 2007

Semedi Dalam Diri

aku lahir dari selangkangan waktu

membias rindu pada langit dan samudera biru

perdamaian telah lama diperselisihkan

matahari celurit berdarah

rembulan luka bernanah

(aku semakin asing hidup di alam fana ini)

damailah langit

tembakau di sini masih kecil

damailah laut

perahu nelayan telah lama menepi

berdamailah bumi

seperti sunyi semedi dalam diri

damailah indonesiaku

rakyatmu merah putih di mataku

Guluk-guluk, 30 Juni 2007

Menyambut Kematian

- buat saudara-saudaraku

kita terlahir dari kebimbangan waktu

memancar rindu pada ruang dan dinding.

rumah-rumah, sawah-sawah,

ladang-ladang, kandang-kandang

menjadi makanan empuk ratusan serigala

“Maafkan aku, nak!

susu yang kalian tenggak air mata,” ibu berbisik

ketika meninabobokan kita

di atas ranjang batu beralas rerumputan.

rinai bianglala, selimut angin lusuh

menghimpit, mencekik dan melilit tubuh kita.

lalu ayah datang sambil merintih,

“Aku juga minta maaf, hari semakin asing

menyambut kita”.

dan kita pun berteriak, berarak

menyambut kematian

yang hampir tak ada jarak

Guluk-guluk, 30 Juni 2007

Kidung Senja

di sini ada parade air mata

sekeping luka menari

diantara rona jiwa yang terlunta

gelak tawa, senda gurau

meretas asa dan cita-cita

samudera kita sulut dengan doa

menjelma rindu pada gelombang

dan perahu di tepian

lalu cinta meronta

di antara biru langit dan laut

menangislah bila itu obat satu-satunya

tenggelamkan dunia dan isinya

sebab senja bukan berarti lambaian terakhir

Guluk-Guluk, 30 Juni 2006

Di Matamu

- Putri

Putri, di matamu kutemukan bunga-bunga

mengalir sungai pada muara jiwa.

lagu layu pun kembali biru

rebahkan kalimat salju dan seikat doa

dan di saat engkau semedi melukis mimpi

aku hanya bisa mengamini sunyi

sambil menyulam rembulan

yang tertikam sejuta persaksian

lalu engkau berbisik:

kalau aku jadi air, engkau harus jadi angin.

Putri, cinta adalah berhala yang Tuhan cipta

untuk dipuja sekedarnya

seperti aku memujamu

hingga kutemukan bunga surga di matamu.

Annuqayah, 20 Januari 2008

Hanya Cinta Kita, Ika

Hanya cinta kita, Ika

Yang seperti riak dan gelombang

seperti muara dan anak sungai

Hanya cinta kita, Ika

Yang seperti tinta dan pena

seperti kata dan makna

Aku tak akan berhenti mencintaimu, Ika

Sebab mencintaimu adalah gila yang tak purna

Mencintaimu adalah puncak kematian rasa

Aku tak akan melupakanmu, Ika

Sebab melupakanmu berarti bunuh diri.

Hanya cinta kita, Ika

Sumenep, 16 Mei 2008

Lelaki Bermata Senja

Di sebuah musim yang terbakar

Seorang lelaki bermata senja

Berjalan

Membawa peta buta

Tentang negerinya yang terluka.

Ia sembunyikan surga di ketiaknya.

(Lelaki bermata senja

mengalungkan bunga di kening malam)

Ia lupa jalan pulang

Hanya sisa kenangan dalam remang

yang terbang bersama kunang

Dan sebelum ajal melebur mimpi

Ia titip pesan buat anak cucunya

yang mungkin seratus tahun lagi baru lahir:

"Jika bunga-bunga di halaman telah punah

Engkau jangan berhenti melukis mimpiku

Sebab merah darahku telah tumpah

Pada puing sejarah".

Lelaki bermata senja

Hanya menyimpan langit di kepalanya.

Sumenep, 16 Mei 2008

PASRAH

Tuhanku,

inilah keterasingan

dari harapan yang terbakar

di persujudan.

Engkau datang megulur waktu

Mengekalkan cinta.

Tuhanku,

bahagia dan derita

tak jauh beda

surga dan neraka

sama saja

dan di sini,

aku menanti tanganMu membelaiku

: walau tak sampai purna

Tuhanku,

segala yang kupunya hanya untukMu.

Sumenep, 17 Mei 2008

Tentang Penulis

Lukman Mahbubi, lahir di Pulau Ra’as, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Saat ini masih tercatat sebagai santri di PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Jalan Makam Pahlawan No. 02. PP. Annuqayah Lubangsa Raya, Blok A/17, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, 69463. Nomor Telepon (0328) 823342/821336. Menulis produktif sejak bergabung dan aktif di beberapa Sanggar yang ada di PP. Annuqayah. Diantaranya: Sanggar Andalas PP. Annuqayah Lubangsa Raya, KBM Teater Gendewa Annuqayah, dan juga berproses bersama di Bengkel Puisi Annuqayah yang diasuh oleh M Faizi bersama M. Zammiel el Muttaqien Guluk-guluk Sumenep Madura. Tulisan-tulisannya sudah banyak dipublikasikan di media lokal maupun nasional. Di antaranya: Horison, Radar Madura, dll. Dan Antologi Puisi bersamanya yang berjudul Merpati Jingga diterbitkan oleh Balai Bahasa Surabaya (2007).

Minggu, 25 Mei 2008

cerpen-cerpen

PERJALANAN TERAKHIR

Oleh Lukman Mahbubi

Entah berapa lama lagi rasa ini harus memenjarakan diriku. Rasa yang mungkin hanya Tuhan yang mengerti maknanya. Dan kata ini terlalu klise bila harus mewakilinya. Tapi beginilah bahasa, tak akan mampu mengungkap semua rahasia tentang cinta. Maka sebelum aku teruskan ceritaku ini, izinkanlah aku memujamu rahasia.

Engkau memang tak sepurna para peri. Engkau juga tak secantik bidadari. Namun, tak ada yang lebih sempurna dan mempesona dibanding senyum yang selalu rekah di bibir mungilmu. Biru matamu mampu menenggelamkan seluruh tubuhku. Dan engkaulah Euphorbia[1] di hatiku atau bahkan Anggrek Bulan Ungu[2]yang membuat mataku sayu.

"Ah, engkau memang gila, Bi. Mencintai perempuan yang masih belum kau kenal. Nama lengkapnya saja engkau tak tahu".

Ya, benar kata temanku barusan, aku tak tahu nama lengkapmu. Yang aku tahu engkau hanya bernama Putri. Dan aku memang telah gila. Tapi aku tak seperti orang gila yang selalu mengamuk dan memukul-mukul kepalanya sendiri sebab mencintaimu adalah kegilaan yang tak sempurna. Aku masih waras. Aku masih ingat engkau, tidak pada yang lain.

Aku juga masih ingat ketika engkau memintaku menyirami bunga-bunga yang kau tanam di taman itu. Engkau berkata sambil tersipu; malu? Dan senyummu yang indah membuat bunga-bunga itu seketika rekah. Engkau pun sumringah.

- Andai aku yang jadi bunga, apakah engkau akan menyiram dan merawatku setiap saat?

Ah, mestinya engkau tak perlu bertanya seperti itu. Seluruh raga telah kuabdikan untukmu. Apapun yang kau pinta, aku akan memberikannya walau dengan cara apapun. Jangankan menjaga dan menyiramimu, membawamu terbang ke bintang aku akan membawamu sebab tak ada yang bisa menghalangi kekuatan cintaku padamu.

- Wah, engkau memang pandai merayuku. Semoga saja aku tidak terjebak oleh pujianmu.

O, tidak. Aku tidak sedang merayumu, tetapi aku hanya mencoba untuk mengutarakan kejujuran hati. Aku hanya berusaha mengungkapkan segala apa yang selama ini kupendam. Andai engkau masih ragu, kuperkenankan engkau membelah tubuhku. Lalu lihatlah, ada gambar siapa di hatiku? Engkau boleh melakukan apapun sepuas hatimu agar engkau benar-benar yakin terhadap apa yang aku katakan. Aku tak akan pernah mendustai hati nurani sendiri walaupun aku juga masih sangsi, apakah nuraniku masih saja putih seputih salju? Atau malah beku seperti batu? Aku masih menyangsikannya. Setiap hari, hati ini selalu bertanya-tanya. Sementara dosa-dosaku saban hari semakin menggunung. Gelap telah membuat mataku silap.

***

Sebulan sesudah perjumpaanku denganmu waktu itu, di taman itu, aku tak pernah berjumpa denganmu lagi. Aku bingung. Ada rindu yang terus mengurung rasaku. Jiwa ini terasa gersang saat jauh darimu. Entahlah, aku juga tak tahu mengapa aku begini.

Aku mencarimu lewat jalan-jalan yang dulu pernah kau ceritakan padaku. Jalan berduri, jalan berbatu, perempatan jalan, pertigaan jalan, jalan berliku, tikungan jalan, dan entah jalan apa dan yang mana lagi yang mesti aku tempuh? Bahkan jalan pintas yang kuanggap pantas telah aku lalui, sementara engkau tak jua aku temukan.

Setelah berhari-hari aku mencarimu, tiba-tiba Gatotsahabatku ─ datang padaku membawa koran. Aku tertawa. Ada potretmu di halaman utama. Engkau tersenyum, masih dengan senyum khasmu. Senyum yang membuat hatiku rindu berhari-hari. Aku bangga karena kerinduan yang selama ini beku bisa sedikit mencair, tapi hanya sedikit.

Berulang kali aku menciumi potretmu. Keningmu, pipimu, hidungmu, bibirmu, dagumu, lehermu, dadamu, jemari lentikmu, bahkan sampai pusarmu aku ciumi. Sekujur tubuhmu tak luput dari kecupan bibirku.

"Gila…!" Gatot mengusik ketenanganku. Ia mencoba menghalangiku untuk berjumpa engkau.

Ya, mereka yang melihatku begini akan berkata kalau aku gila. Tapi ini adalah hakku. Persetan dengan mereka. Yang penting aku bahagia bisa mencumbuimu. Aku senang dapat bertemu engkau. Aku riang bisa bergurau dengan engkau. Aku bisa tertawa sepuas hatiku.

"Bi, sadar…! Baca dulu koran itu. Jangan hanya kau ciumi gambar Putri," Gatot semakin memburuku. Ia menggoyang-goyang pundakku. Aku tak peduli. Aku hanya meliriknya dengan tatapan hampa.

Tetapi, diam-diam aku membenarkan juga apa yang barusan Gatot katakan. Aku harus tahu kabar tentang engkau. Aku harus tahu engkau sekarang ada di mana, bagaimana keadaanmu dan yang paling penting bagiku adalah tentang apa yang membuat mereka tertarik meletakkan potretmu? Aku harus tahu itu.

Perlahan aku baca tulisan hitam dengan font Times New Roman yang dipertebal: SETELAH DIPERKOSA, WANITA BERNAMA PUTRI DIBUNUH. MAYATNYA DITEMUKAN TERKAPAR DI TENGAH SAWAH.

O, tidaaak...! Aku tidak percaya dengan apa yang barusan aku lihat. Aku cubit lenganku; sakit, aku tidak sedang bermimpi. Tapi aku masih ragu. Aku gigit bibirku; luka. Aku menjerit. Aku panik. Aku histeris. Mata ini telah menipuku. Engkau masih hidup. Engkau tak boleh mati. Aku tak akan mengizinkan malaikat mencabut nyawamu.

Aku berjanji, jika suatu saat aku menemukan orang yang menodaimu, aku akan membunuh mereka dengan cara apapun dan bagaimanapun. Aku akan memenggal kepalanya sebagai hadiah paling istimewa pada hari ulang tahunmu..

***

Setelah itu aku lebih sering tertawa sendiri. Aku lebih senang berjalan tanpa baju. Aku telah mencungkil mata kiriku karena telah berani menipuku. Dan aku juga sering mengamuk. Tak jarang orang-orang yang ada di dekatku terkena pukulanku. Bahkan, aku juga sering memukul-mukul kepalaku sendiri sampai berdarah. Dan kalau aku sudah begitu, mereka yang mengaku keluargaku akan mengikat tangan dan kakiku. Dan mulutku juga akan diisolasi karena berteriak-teriak.

Oia, aku juga telah berhasil menemukan orang yang telah memperkosamu. Aku telah memenggal kepalanya, tetapi aku tak puas sampai di situ. Hati ini terlalu sakit. Kepalanya tak cukup untuk sekedar menebus kesucianmu.

Selain memenggal kepalanya, aku membelah tubuhnya menjadi dua. Hatinya aku makan. Daging dan kepalanya aku simpan dalam kantong palastik berwarna hitam. Kalau aku lapar, aku memakannya. Selain itu, sebagian darahnya aku minum dan sebagiannya lagi aku memasukkannya kedalam botol Aqua. Kalau aku kehausan di perjalanan, aku meminumnya. Semua ini karenamu. Karena kehormatanmu.

Aku telah lupa pada diri, keluarga, famili, dan juga lupa pada adik-adikku sebab aku hanya ingat engkau. Rambutku acak-acakan. Wajahku kusam. Celana pendekku berubah warna, banyak debu yang melekat di sana. Tapi aku tak peduli dengan semua itu. Persetan dengan rambutku, persetan dengan wajahku, persetan dengan celana pendekku, toh semua itu tak akan bisa membahagiakan aku. Tak akan ada yang bisa mengembalikan cintaku.

Kadang-kadang aku dicemooh, diolok-olok oleh anak-anak yang kebetulan berjumpa denganku di pinggir jalan.

"Abi gila…, Abi gila…, Abi gila…." begitu mereka mengolok-olok sambil melempariku dengan plastik bekas makanan mereka.

Aku tak peduli dengan apa mereka katakan. Setiap kali mereka melempariku dengan plastik bekas makanan mereka, aku mengambilnya. Aku menjilati plastik itu. Aku senang menjilatinya sebab aku merasa sedang menjilati pipi mulusmu. Aku merasa sedang menjilati bibir manismu.

Dan jika aku begitu, anak-anak itu akan mengolok-olok aku dengan kata-kata lain.

"Abi jorok…, Abi jorok…, Abi jorok…"

Ya, mereka berkata begitu sambil menepuk-nepuk tangannya sendiri. Begitu setiap hari. Tak jarang sepulang dari sekolah, mereka berbondong-bondong mendatangiku. Mereka bahagia bila berada di dekatku. Mereka selalu tertawa sehabis mengolok-olok diriku.

Aku tak menghiraukan mereka sebab aku hanya menginginkan dirimu. Engkau telah membuatku matirasa. Aku tak tahu lagi pahit dan manis. Yang aku tahu manis itu adalah senyummu dan pahit adalah hari-hariku. Dan aku juga telah buta warna. Aku tak bisa membedakan warna putih dan biru. Aku hanya bisa melihat putih itu wajahmu dan biru adalah matamu.

Aku telah jauh melangkah, namun aku masih tetap tidak menemukanmu. Aku nyaris putus asa. Tapi senyummulah yang membuat aku berdiri sampai saat ini. Engkaulah yang membuat aku tetap teguh menjalani hidup ini.

Aku akan terus mencarimu kemanapun aku harus melangkah. Aku tak peduli dengan lelah, yang penting aku bisa bertemu engkau. Aku bisa melihat senyummu. Aku bisa mendengarkan suaramu yang syahdu itu.

Aku telah kehilangan semuanya. Rumah, keluarga, teman, orang-orang, semua telah menjauh dariku. Hanya satu yang masih setia, senyummu. Ya, hanya engkau yang ada dalam anganku. Imajiku terus berpikir bagaimana aku bisa berjumpa denganmu.

Aku telah mencarimu di mana-mana. Di trotoar-trotoar, di etalase-etalase, di café-café, di masjid-masjid, di surau-surau, di gunung dan bahkan di dasar semuderapun aku tetap tak menemukanmu. Tapi aku tak akan berhenti mencarimu. Tak akan ada yang bisa menghalangi perjalananku. Matahari, hujan, duri, batu, api, semua itu tak akan merubah tekadku untuk berjumpa denganmu.

Semakin hari tubuhku bertambah kurus. Kekuatanku semakin berkurang. Aku tak ubahnya seperti tengkorak yang masih bernyawa. Daging di tubuhku nyaris tak ada, hanya kulit yang melekat pada tulang-tulang yang sebentarlagi akan hilang juga ditelan bumi. Tetapi Tuhan tak akan rela hambanya menderita. Ya, Dia maha pengasih. Tak mungkin menyiksaku begitu perih.

Dan itu terbukti. Senyumku telah kembali ketika melihat namamu tertulis di kayu yang berdiri di atas gundukan tanah itu. Aku mendekatinya. Aku yakin ada engkau di sana dan sedang menungguku. Aku yakin itu adalah rumahmu.

Setelah dekat, aku memeluknya; erat. Harapanku hanya satu: berjumpa denganmu. Dan setelah itu aku tak merasakan lagi desah nafas dan denyut nadiku melekat di tubuh. Darahku membeku. Seperti ada yang hilang dalam diriku: Nyawa. Aku juga tak tahu lagi ada di mana. Yang aku tahu, tubuhku telah kaku memeluk kayu yang bertuliskan namamu.

Dan akhirnya, aku benar-benar bertemu denganmu, Putri! Aku telah menemukanmu tersenyum di sampingNya.

Sumenep, 2008



[1]Euphorbia: Bunga hias yang berbunga lebat. Daunya berbentuk oval dengan ujungnya yang lancip. Bunga inilah yang menjadi kebanggaan orang-orang Thailand. Durinya yang tajam diyakini dapat mengusir roh-roh jahat.

[2]Anggrek Bulan Ungu: Bunga hias yang berwarna ungu. Harganya tidak terlalu mahal, tetapi sejuk bila dipandang.

SUNYI MASIH BERNYANYI

Oleh Luki Samarena

Mengenangmu, ibarat merangkai kembali kenangan usang. Perih, pedih, membuat luka kian menganga. Tiap kali bayangmu terlintas di sudut mata, kerapkali pula mataku layu, sembab oleh air mata. Meski menyakitkan, aku bangga mengingatmu sebab engkau beda dengan lainnya. Ada yang lain darimu hingga membuat bibirku selalu tersenyum. Sikapmu yang periang, meluluh-lantakkan keperkasaan seorang lelaki. Termasuk juga diriku.

Mengenalmu, membunuh segala rasa. Menatap biru matamu menenggelamkan segalanya. Mencitaimu, membutakan segala mata. Dan karena senyummu, aku urung kan mati. Mungkin tak ada kata-kata yang mampu melukiskan keindahanmu sebab tak ada pena yang mampu memancarkan tintanya. Aku telah mabuk sehabis meneguk tetes embun di matamu.

Lagipula, menghadapimu ibarat menghadapi seekor singa. Bila salah, singa itu akan marah dan meraung-raung, tapi bila yang diinginkan terpenuhi, ia akan manggut-manggut seakan mengerti bahwa yang diinginkan olehnya terpenuhi.

Begitulah dirimu. Setiap gerak-gerik tubuhmu mengandung makna dan teka-teki yang sampai saat ini masih belum bisa aku pecahkan. Ketika aku berusaha memahamimu, aku merasa seperti menyelam di dasar laut. Semakin dalam aku menyelam, semakin banyak sesuatu yang tidak aku mengerti. Itu yang membuat aku tertarik padamu. Aku bersyukur dapat bertemu dengamu dalam hidup ini. Dan aku tak rugi menyerahkan hatiku padamu hingga kerapkali aku loba pada senyummu yang rayu di mata kecilku.

“Tidakkah engkau tahu betapa aku sangat terbebani oleh rasa ini?” katamu beku.

Aku mencintaimu bukan karena apa dan mengapa, aku mencintaimu karena ketulusan dan kejujuran yang keluar dari hati nurani. Aku ungkapkan cinta bukan berarti engkau harus menerimanya, tetapi untuk sekedar kau tahu bahwa tak ada ruang buat yang lain di hatiku. Menerima dan menolak cinta itu hakmu. Aku tak dapat memaksakan kehendak atas dirimu. Apalagi persoalan cinta. Jika kau merasa terbebani oleh rasa cintaku, buang aku dalam kehidupanmu. Sungguh, aku tak ingin jadi duri dalam hatimu.

“Sudahlah, jangan kau ungkit kembali kerak luka. Cintamu yang tak pasti telah membuat hatiku tersayat dan berdarah. Sikapmu yang tak tentu telah membuat aku muak dengan semua laki-laki. Aku tak ingin lagi terluka karena sikapmu, apalagi cintamu. Engkau adalah ranjau yang akan mengurungku,” engkau berkata sambil menatapku tajam, menusuk mata dan hatiku.

O, mataku bertambah perih! Air mata telah membanjiri ruang hatiku. Mengapa engkau tega berkata seperti itu? Tak tersisakah secuil cinta di hatimu untukku? Tidakkah kau ingat waktu aku mengungkapkan cinta ini padamu?

***

Waktu itu, bulan telah sempurna menampakkan wajahnya; tanggal 14 bulan Ramadlan. Ya, bulan suci itu jadi saksi kesucian cintaku dan cintamu menyatu dalam satu rasa.

“Jika dua rasa telah menyatu menjadi satu, apa yang harus kita perbuat untuk menjaga keabadian dan kesuciannya?” katamu di Hand-Phone waktu itu.

“Ketika dua rasa telah menyatu menjadi satu, kita harus menjaga rasa itu agar tetap abadi hingga kelak di sisi Tuhan,” jawabku sembari menatap kilau rembulan di langit hatiku.

“Dengan cara apa!?” lanjutmu setengah merintih.

“Dengan menjaga hati kita dari berbagai macam uji dan coba. Kita harus senantiasa panjatkan doa agar cinta kita diberkahi dan diridlai.”

“Apakah cukup dengan semua itu? Padahal dalam kamus hidupku tak ada istilah ‘pacaran’. Mungkinkah rasa itu akan abadi tanpa ikatan apapun?”.

Pertanyaan satu ini yang sulit aku jawab. Aku diam. Tapi bukan berarti cintaku padamu hanya sekedar iseng dan gombal belaka! Aku bisu. Tapi bukan pula aku tak tahu apa yang ada dalam rasamu. Sungguh bukan maksudku mempermainkanmu, tetapi karena satu hal yang aku masih belum siap menghadapinya. Walaupun aku masih belum mengikatmu, cintaku tak akan luruh. Cintaku padamu akan tetap utuh tanpa cacat sedikit pun. Aku akan berhenti mencintaimu jika matahari membakar bulan di hatiku.

Aku tahu waktu itu engkau ingin agar aku mengikatmu dengan cincin di jari manismu: Tunangan. Tapi apa yang dapat aku perbuat? Apa yang dapat aku berikan padamu jika aku harus bertunangan denganmu? Sementara ayah dan ibu tidak mengizinkan aku untuk hal yang satu ini. Ya, engkau pun harus juga mengerti keadaanku. Aku masih belum siap untuk tunangan.

Dan pada waktu engkau meminta Dedy untuk menanyakan kesungguhan cintaku padamu, aku ungkapkan semua isi hatiku padanya. Aku jujur katakan kalau dalam hatiku ada engkau, tak ada ruang buat yang lain. Setiap desah nafasku adalah namamu yang selalu kusebut. Setiap detak nadiku adalah namamu yang selalu terukir. Engkau hampir segalanya dalam hidupku.

Tiap saat aku selalu memikirkanmu. Tak ada hari tanpa bayangmu di kepala. Senyummu, merayu di sudut mata. Suaramu mendayu-dayu di telinga. Aku seperti menemukan kembali rembulan yang pecah di mataku. Engkau sungguh sempurna Tuhan ciptakan. Tak ada cacat sedikit pun, walaupun ada, di mataku tak akan pernah tampak sebab mataku telah silau oleh kilaumu.

Aku terus berfikir tentangmu. Malam kusuntukkan untuk mengeja huruf-huruf namamu. Dan bila siang, kuisi ruang di hatiku dengan wajahmu. Hingga suatu ketika, Dedy datang lagi padaku membawa kue dan sebilah pedang.

“Bob, mungkin ini adalah akhir perjalanan cintamu selama ini. Jika kau benar-benar punya hati, makan kue ini sebagai saksi pertunangan Juwita. Tapi bukan denganmu, dia akan resmi menjadi milik orang lain. Akan tetapi bila kau tidak punya hati, bunuh rasa di hatimu dengan pedang ini sebab semua cerita tentang dirimu telah usai,” begitu kata Dedy di saat kesibukanku memikirkanmu.

Dilema. Ya, ini sungguh dilema. Bila aku ambil kue dan memakannya, berarti aku telah memakan hatiku sendiri. Tapi bila aku ambil pedang dan membunuh rasa ini, berartipula aku telah membelah bulan di hatiku. Ah, membingungkan!

Sejenak, tubuhku bergetar. Pikiran kacau. Tangan gemetar. Hati berdebar-debar. Antara sadar dan tidak, kuambil kedua-duanya karena tak ada pilihan lain. Meski berat aku lakukan, terpaksa kumakan juga hatiku sendiri dan sekaligus membunuh rasa di hati. Tetapi, melupakanmu terlalu sulit bagiku. Aku semakin merasa asing hidup di alam fana ini.

Ya, benar. Dunia ini memang fana, tapi tak sefana hatiku saat ini. Dunia memang fatamorgana, tapi jiwaku saat ini lebih dari sekedar fatamorgana. Oh, Tuhan…. Mengapa garis hidup yang kau berikan padaku menyakitkan!? Mengapa cinta yang selama ini aku puja menjadi sebilah keris yang menusuk hatiku? Tapi bukan berarti aku menyalahkan-Mu, malah aku bangga menjadi hamba-Mu yang selalu kau coba. Meski Kau uji aku seberat apapun, aku tak akan marah. Aku hanya bisa pasrah dan menyerah jika itu yang terbaik buatku.

“Alah, Bob…! Engkau terlalu pengecut menjadi seorang lelaki. Mencintai tanpa harus memiliki. Engkau hanya berpura-pura untuk menyembunyikan kebiadabanmu agar tak ada yang tahu, lalu membungkusnya dengan cinta. Dan perempuan hanya kau jadikan pelarian atas keterasinganmu. Ah, sungguh menyebalkan!” Jagur­­­ -sahabatku- ikut-ikutan menyalahkan aku.

Aku akui, akulah lelaki paling pengecut dari yang paling pengecut di dunia ini. Akulah lelaki paling durjana di muka bumi ini. Akulah lelaki yang hanya bisa mencintai tapi tak siap untuk memiliki. Tetapi aku tidak bermaksud menjadikan perempuan sebagai pelarian dari keterasinganku. Bagiku, perempuan semua sama. Suci. Naif bagiku menodai kesuciannya, termasuk juga dirimu.

Aku anggap semua perempuan sama seperti ibuku sendiri yang harus aku patuhi, aku hormati, aku sayangi dan aku puja dalam hidupku. Bila aku menyakitinya, berarti aku telah melakukan dosa paling besar yang ada dalam dunia ini yaitu menyakiti hati orang tua. Itu tak mungkin aku lakukan. Dan kalau aku menyakiti hati ibu, berarti pula aku telah menyakiti Tuhan alam semesta ini.

“Ya, sudahlah, lupakan semua tentang kita. Anggap saja kita tidak pernah bertemu dalam hidup ini. Cinta yang telah usang tak perlu kau persoalkan. Engkau harus mengubur rasa di hatimu sebab jalan kita sudah beda. Jalani saja jalanmu sendiri. Aku akan berjalan sesuai dengan hati nurani dan perasaanku sendiri. Dan sebelum kita benar-benar berpisah, satu hal yang ingin aku pinta darimu, lupakan aku. Buang aku jauh-jauh dari kehidupanmu. Jangan ada secuil cinta yang tersisa di hatimu untukku”.

Craap…! Kata terakhirmu bagai ujung belati menancap di lubuk hatiku yang terdalam. Sakit. Telinga seakan pecah, tak mampu mendengar ucapanmu. Tubuh kaku. Mata sayu. Jiwa beku. Tapi imajiku belum mati, aku tak percaya kalau kata-kata itu keluar dari mulut seorang dara yang selalu menghantui hari-hariku. Tidak, ada orang lain yang memaksamu untuk berkata seruncing itu.

Selaksa luka. Ya, aku ibarat biduk yang dihempas ombak sehingga hilang arah tujuan. Tak ada dermaga tempatku berlabuh. Semua hilang, yang tersisa hanya kenangan-kenangan usang. Anginpun begitu dingin dan runcing untuk kujadikan teman bersanding. Tetapi, samudera akan kusulut dengan doa agar menjelma rindu pada riak gelombang dan perahu di tepian meski cintaku harus meronta di antara biru langit dan laut.

Ah, tidak. Untuk berpisah mungkin aku pasrah, tapi untuk melupakanmu, sungguh bagiku sangat susah. Aku pasrah berpisah sebab senja itu bukan lambaian terakhir, tapi awal kebahagiaan dengan munculnya rembulan di langit kita.

Biarlah, kelopak bunga ini layu dan luruh sendiri agar aku tidak berdosa pada diri sendiri dengan membunuh rasa ini. Aku harus berfikir seribu kali untuk melupakanmu, karena bagiku melupakan atau bahkan berusaha melupakanmu berarti aku bunuh diri sebab engkaulah perempuan yang telah menjadi nafas dalam hidupku.

Biarkan aku menikmati kerinduan yang kau titip padaku meski luka di hatiku kian menganga. Dan biarkan aku menjaga kesucian cintaku padamu walau engkau sudah menjadi milik orang lain, sebab sendiri, sunyiku masih bernyanyi dan dalam diam, aku tetap mencintaimu.

Sumenep, 29 Juni 2007